Edisi 155, Selasa 13 Juni 2017
Deliberate practice sangat fokus pada jenjang pengembangan ketrampilan atau kapasitas diri seseorang. Bila kita bermain tenis, misalnya, hanya karena kita ingin mendapatkan fun saja. Maka kita umumnya akan mentertawakan pukulan yang menyimpang, tetapi dalam deliberate practice, kegagalan kita memukul bola dengan tepat untuk mencapai efek yang optimal, menjadi kajian serius antara coach dan coachee.
Tidak ada satu latihan yang tidak mempunyai tujuan pengembangan skill yang jelas. Dan belum disebut latihan bila kita belum merasakan beratnya proses stretching kemampuan dalam latihan tersebut.
Karenanya tidak heran bila yang membedakan latihan seorang juara dengan yang lain adalah bahwa terdapat impact pengembangan kemampuan yang besar dalam berbagai latihan yang ia lakukan.
Apa saja prinsip deliberate practice yang utama yang membedakan dia dengan sekedar latihan biasa?
Dimulai dari goal yang spesifik mengenai apa yang ingin diraih, kapan itu diraih, serta pemahaman akan gap skill yang ada antara coachee dengan sang juara dunia.
Deliberate practice menuntut coachee untuk deliberate, yaitu pada saat latihan terjadi peserta latihan terlibat secara penuh dan sadar dalam pengembangan ketrampilan yang tengah ia lakukan. Bisa dikatakan bahwa bila tidak ada kesulitan yang dirasakan dalam proses latihan maka bisa jadi proses latihan tersebut belum efektif.
Fokus latihan bukan untuk fun tetapi untuk stretching. Kesenangan justru diraih ketika kita sudah bisa mencapai level kemampuan yang lebih tinggi. Sebuah achievement fun bukan pleasure fun.
Faktor lain yang penting dalam deliberate practice adalah adanya coach dan feedback. Seringkali seseorang menghadapi suatu blind spot ketika mengevaluasi kelemahan dirinya. Disamping ia sendiri sudah masuk ke comfort zone yang dapat menyebabkan kemalasan dia untuk stretching. Disinilah peran coach yang dapat melihat apa yang tidak dilihat oleh coachee dan mendorongnya mencapai apa yang ia sendiri merasa sudah tidak mungkin.
Deliberate practice begitu jelas kita temukan di bidang olah raga dan seni pada para juaranya. Tapi begitu jarang kita temukan di sebagian besar profesi lainnya, sehingga menjadi sebuah hal yang menantang dan menarik untuk mengetahui seberapa jauh konsep ini dapat diterapkan di bidang lainnya.
Ketika konsep ini diterapkan dalam kuliah fisika di tingkat pertama Universitas British Columbia (seperti diuraikan di Bab 9 buku Peak (link nya: …), ditemukan bahwa kelompok yang pada separuh semester berikutnya diberikan metode yang menggunakan prinsip-prinsip deliberate practice, hasil ujiannya bisa sampai 2,5 kali lebih bagus. Bayangkan bila hasil yang sama bisa dicapai dalam seting perusahaan.
Kesulitan di perusahaan memang waktu yang tersedia untuk latihan jauh lebih sedikit dari waktu perform-nya (baca: waktu bekerja), terbalik dengan seting olah raga dimana waktu bertandingnya lebih sedikit daripada waktu latihannya. Walaupun di organisasi sudah familiar dengan istilah coaching sebagai salah satu tugas dari seorang pemimpin, tetapi proses coaching yang dengan detail mem-break down dari skillcoachee-nya dan berusaha untuk secara konsisten memonitor pengembangannya dalam berbagai seting kerja belum dikenal oleh kebanyakan organisasi. Sehingga tidak heran bila pola kepemimpinan yang tidak optimal atau bahkan destruktif bisa dibawa terus oleh seseorang dalam karir organisasinya.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply