Edisi 113, Selasa, 18 Oktober 2016
Doer bukan seorang Executor. Dia tipe orang yang pasif, menunggu perintah dan hanya menjalankan apa yang diperintahkan. Begitu dia menemui hambatan, ia akan berhenti dan menunggu solusi yang akan diberikan atasannya.
Sementara itu, Executor adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan cepat, efisien dan efektif. Executor memiliki kemampuan untuk mem-break down tugas, mendistribusikan, memonitor dan mengatasi berbagai hambatan yang ada.
Seorang Executor mempunyai kemampuan membayangkan output yang ingin dihasilkan dan bagaimana mencapainya. Perusahaan banyak mengandalkan para Executor, terutama di posisi manajemen untuk memastikan banyak pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik. Executor umumnya fokus pada target operational, karenanya mereka lebih berprestasi pada tactical performance, tetapi mengalami kesulitan untuk menampilkan adaptive performance.
Bila Executor akan bekerja dengan baik dengan daftar apa yang perlu dicapai di tangannya, maka perusahaan membutuhkan Performer untuk menciptakan daftar tersebut. Performer memahami apa yang dibutuhkan organisasi, bukan sekedar apa yang perlu dilakukan. Dia mengantisipasi arah dan permasalahan yang akan dihadapi di masa depan. Beda diantara keduanya terutama pada awareness dalam memilih aktivitas yang impactfull.
Executor akan cenderung terpaku pada apa yang perlu dikerjakan dan tidak sensitif bila prioritas berubah karena situasi yang ada. Sementara Performer akan selalu sensistif untuk menemukan aktivitas yang paling impactfull dan me-redirect prioritas aktivitas organisasinya.
Kebanyakan Doer adalah mereka yang merasa terpaksa berada di organisasi. Ibarat anak yang dipaksa sekolah, mereka adalah orang dewasa yang dipaksa bekerja. Karenanya bila siswa ogah-ogahan belajar, maka karyawan ogah-ogahan dalam bekerja. Cycle kerja-nya dimulai dari menunggu perintah, mengerjakan perintah, menemui hambatan, berhenti, menunggu arahan.
Doer memang menyebalkan bagi para Executor. Ia membuat lelah dan kesal, karena perlu terus dimonitor, didorong dan ‘ditendang’ biar bisa bergerak. Ibarat mainan yang akan kehabisan baterai, dipukul-pukul dengan harapan masih ada sisa baterai yang akan mendorong mainanan itu bergerak kembali.
Namun, di sisi lain, Executor juga membuat lelah para Performer, karena mereka asyik mengeksekusi sebuah tugas, tanpa men-cek ulang prioritas dari tugas tersebut. Sumber daya organisasi bisa banyak habis untuk menyelesaikan tugas tertentu yang ternyata kebutuhannya sudah kadaluarsa, yang manfaatnya sudah tidak dirasakan lagi. Mereka terlalu fokus dengan target unitnya dan kurang berpikir mengenai alignment dengan unit lain. Mereka meyakini itu yang diperlukan untuk mencapai karir yang baik.
Saat ini tampak nya terlalu banyak Doer di dalam organisasi. Dan terlalu sedikit Performer dan Executor. Hanya ketika lebih banyak executor dan performer dalam organisasi, maka organisasi akan menemukan ‘harta karun’ 40 persen nya. Masalahnya, kebanyakan budaya organisasi justru mengembangkan Doer bukan Performer. Sehinga bisa jadi seorang performer ketika masuk ke dalam organisasi tersebut, bila tidak hati-hati, bisa menjelma menjadi Executor atau bahkan Doer. Lalu Manajemen berteriak-teriak mengatakan ‘bertapa sulitnya mencari pemimpin yang berkualitas saat ini’, sementara mereka justru mematikan bibit-bibit pemimpin yang ada.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta