Edisi 349, 28 September 2021
Ada berbagai alasan yang bisa kita berikan ketika kita memilih untuk membela aktivitas kurang penting. Berbagai alasan tersebut menimbulkan bias forecasting, kecenderungan kita untuk memberikan nilai lebih besar pada hal yang ada saat ini dan men-discount apa yang bisa kita raih di masa depan.
Alasan pertama adalah karena masih lamanya deadline dari pekerjaan tersebut yang menyebabkan adanya kemungkinan terjadi perubahan prioritas di masa depan.
Alasan lain adalah kita merasa bahwa esok kita akan mempunyai enerji dan waktu yang lebih banyak untuk bisa mengerjakan hal tersebut dengan lebih baik. Waktu saya saat ini terlalu mepet, esok rasanya lebih luang. Saya sekarang sangat lelah, nanti saja pada akhir pekan atau minggu depan.
Alasan lain untuk tidak melakukan sesuatu atau memutuskan sesuatu adalah: karena apa yang perlu dikerjakan belum jelas atau kita masih menunggu informasi atau data atau bahkan arahan dan persetujuan atasan mengenai cara mengerjakan dan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan terkait tugas tersebut.
Berbagai alasan tersebut-lah yang membuat kita tergoda untuk melakukan aktivitas menyenangkan saat ini. Pertanyaannya kemudian tentu ini: bagaimana kita memilah alasan yang benar dan tidak dan bagaimana kita menentukan timing prioritas yang tepat dalam melakukan hal tersebut. Dalam arti, seberapa lama bisa menunda atau tidak.
Kesediaan untuk jujur secara penuh pada diri sendiri merupakan bekal utama untuk bisa mengelola berbagai alasan yang kita berikan pada diri kita sendiri. Bisa jadi terkesan asing, bagaimana mungkin orang tidak jujur dengan diri sendiri? Namun kenyataannya, seperti juga orang bisa tega dengan diri sendiri, maka orang juga bisa tidak jujur dengan diri sendiri karena ia ingin membela rasa berharganya (self worth), walaupun rasa berharga tersebut hanya ilusi semata.
Orang yang merasa dia baru bermakna kalau berhasil, atau ketika dia menjadi orang ‘baik’ atau kalau dia bisa melakukan sesuatu maka akan berusaha mencari berbagai alasan ketika tidak mencapai hal tersebut. Permasalahannya semakin banyak alasan yang diberikan akan menimbulkan ‘blank spot’, yang menyebabkan ia semakin sulit untuk membedakan antara realitas atau tidak, antara reason & excuse. Ketika itu terjadi, pengembangan diri akan sulit dilakukan.
Dengan menerima kesalahan dan kegagalan dan kemudian terus berusaha untuk memperbaiki diri maka seseorang bisa lebih memahami sisi kemanusiaannya dan akan lebih mampu membedakan kebenaran dari alasan prokrastinasi yang dikemukakan. Ia tidak merasa perlu untuk membenarkan prokrastinasinya dengan berbagai alasan dan bisa membedakan kapan itu hal positif sebagai bentuk coping terhadap tekanan yang ada dan kapan itu sudah ‘tidak sehat’ menunjukan ketidakdisiplinan atau malah menunjukan bahwa bidang yang kita pilih bukan bidang yang tepat bagi kita.Bias forecasting juga terjadi dalam konteks kita hanya membela kesenangan sesaat tetapi tidak menghitung penyesalan, dimarahi Bos, mengecewakan orang lain, dan lain sebagainya yang muncul bila kita terus-menerus melakukan prokrastinasi. Dengan kata lain, kita mengecilkan berbagai perasaan negatif yang muncul kemudian dan membela perasaan positif, rasa senang dan nyaman sesaat.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply