Edisi 114, Selasa, 25 Oktober 2016
Inilah sejarah lahir dan berkembangnya doer. Pada awalnya adalah anak-anak yang penuh enerji, berlari kesana-kesini, bermain dengan senangnya, mengeksplorasi dunia yang ada di sekitarnya. Sebut saja mereka Rita dan Rudi.
Sayangnya enerji tersebut kemudian tidak terkelola dengan baik ketika Rita dan Rudi mulai bersekolah. Standardisasi lebih ditekankan dibandingkan uniqueness. Conformist lebih dihargai daripada aspirasi. Kesamaan lebih diterima daripada perbedaan. Akhirnya karena merasa inisiatif, kreasi, inovasi tidak dihargai, maka yang muncul adalah doer. Ikuti saja apa yang diinginkan orang tua dan guru.
Cerita yang sama kurang lebih terjadi juga ketika 2R ini bekerja. Tadinya mereka banyak ide. Banyak aspirasi. Tapi kemudian pengalaman mengajarkan bahwa lebih aman untuk play safe. Perlu memahami office politic yang ada sebelum berpendapat. Sehingga, bisa jadi mereka datang sebagai performer ataupun executor, sayangnya setelah dicampur oleh budaya yang ada, maka dalam waktu singkat mereka berubah menjadi doer. Sekedar bermain aman.
Pada titik terendah doer akan menjadi master of excuse. Sangat pintar mencari alasan untuk tidak melakukan sesuatu ataupun berhenti melakukan sesuatu. Sebagian (kecil) tentunya tetap bisa mengatasi tekanan yang ada di dunia sekolah ataupun kerja dan keluar sebagai executor atau bahkan performer.
Kemudian faktor apa yang ada dalam organisasi yang bisa menumbuhkan lebih banyak executor dan performer? Kita bahas di tulisan berikutnya.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta