Edisi 319, 4 Agustus 2020
Timothy Phycyl merupakan salah satu ilmuwan yang banyak melakukan penelitian, menulis dan membuat podcast terkait procrastination. Referensi dari Tim Phycyl merupakan referensi yang paling banyak dikutip dalam pembahasan di seri ini, seri Procrastination. Salah satu kesimpulan penelitiannya adalah: procrastination bukanlah masalah ketidakmampuan dalam pengelolaan waktu. Pada mereka yang procrastinate, ia menemukan bahwa mereka tetap mempunyai kemampuan untuk memperkirakan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan, membuat goal dan membuat perencanaan sama baiknya dengan yang tidak melakukan procrastination. Karena itu Tim menyimpulkan bahwa procrastination merupakan masalah dalam pengelolaan emosi.
Orang yang procrastinate cenderung menyerah pada dorongan untuk mendapatkan rasa nyaman saat ini. Ia seolah tidak mempunyai cukup enerji untuk melakukan sesuatu hal yang bermanfaat baginya di masa depan. Sulit untuk berkorban melakukan hal penting bagi pekerjaannya, karirnya ataupun hidupnya.
Karena masalahnya lebih pada faktor emosi, maka bisa dikatakan bahwa bila manajemen waktu terkait dengan how, maka procrastination terkait dengan why. Orang yang procrastinate umumnya paham bahwa ia sebaiknya melakukan apa, bahkan, lebih jauh lagi, ia paham bagaimana sebaiknya mengatur pengelolaan aktivitasnya, tetapi ia tidak berhasil mengakses why di dalam dirinya. Ia tidak mendapatkan motivasi untuk bisa melakukan aktivitas yang perlu dilakukannya. Ia menyerah, memilih mendapatkan kesenangan sesaat dengan resiko menimbulkan perasaan bersalah kemudian.
Namun, procrastination bisa muncul bila seseorang tidak dapat mengelola waktunya dengan baik. Karena ia kemudian akan sulit mengatur beban kerjanya, menjadi putus asa, dan pada akhirnya procrastination. Dia bisa menjadi penyebab procrastination, tetapi kemampuan manajemen waktu saja tidak cukup untuk membuat orang procrastinate, bahkan ia bukan penyebab utama procrastination.
Kita dapat melihatnya dengan cara yang lain: procrastination sebuah masalah di hulu, bukan di hilir. Masalah di life purpose, mengenai apa yang ingin kita capai dalam hidup, mengenai apa yang penting bagi diri kita, mengenai nilai-nilai yang ingin diprioritaskan. Ketika hilir kita menimbulkan sebuah pusaran arus yang sulit dikendalikan maka mengatasinya hanya di hilir tidak akan banyak berpengaruh.
Kita perlu membangun keberdayaan secara bertahap (self efficacy) agar bisa tetap konsisten dalam jalur arah kita (Directing). Setiap hari kita perlu mengakses why untuk dapat memberikan arah dan kekuatan. Mengatasi aspek why pada umumnya lebih sulit dari how, ia membutuhkan pemahaman akan diri kita dan apa yang ingin dicapai dalam hidup. Sementara itu terkait how? Ada banyak how untuk mencapai why tersebut.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply