Edisi 62, Jum’at 1 April 2015
‘Ini urgent!!’, kata ini bisa Anda temui datang dari Boz Anda yang sedang mem-push sebuah pekerjaan pada Anda. Begitulah, ‘mendesak’ adalah mantra yang digunakan seseorang untuk menekan kita.
Yang pertama kita perlu pahami adalah ini. Bahwa urgency tidak boleh dijadikan default setting kita. Bila manajemen organisasi berjalan baik, dan kita juga mampu mengelola produktivitas diri kita dengan baik, maka urgency hanya terjadi karena sesuatu yang di luar perkiraan kita. Kemunculan urgency, hampir-hampir sama dengan emergency. Emergency terjadi sangat jarang. Beda emergency dan urgency adalah emergency mempunyai konsekuensi yang lebih fatal.
Dengan demikian, alasan yang ‘benar’ untuk urgency adalah force majeur yang disebabkan oleh lingkungan yang berubah secara mendadak tanpa kita perkirakan sebelumnya. Ekonomi yang membaik atau memburuk secara cepat. Kompetisi yang meningkat atau berkurang. Atasan/Kolega/Staf yang mendadak mengundurkan diri.
Bila situasi ‘normal’, perkembangan usaha sesuai dengan yang kita proyeksikan, sistem berjalan dengan baik, support manajemen sangat kuat, maka loading dan dead line pekerjaan merupakan sesuatu yang bisa dihitung, diprediksi dan diatur sehingga kita bisa berada dalam default yang seharusnya: situasi loading dan timing dead line yang wajar.
Namun, kalau manajemen meningkatkan pekerjaan sekenanya, sistem yang tidak berjalan dengan baik, Atasan memberikan pekerjaan dia pada kita, staf yang tidak memenuhi syarat, maka beban kerja yang bertambah yang tidak disertai penyesuaian dead line akan menimbulkan tirani urgency, yang menimbulkan stres berkepanjangan.
Susahnya dan sayangnya, kebanyakan perusahaan merasa default setting-nya justru situasi tersebut. Situasi dikejar-kejar deadline. Kerja lembur, pembuktian loyalitas adalah pulang paling malam. Kerja dengan stres tinggi. Dan berlari dari satu rapat ke rapat lain. Ketika tirani urgency terjadi, memang produktivitas kerja umumnya jatuh pada aspek kuantitas saja. Bukan kualitas.
Hal-hal tersebut menyebabkan urgency yang kita alami, bisa jadi karena mis manajemen atau adanya deadline ‘bohongan’ yang bisa berubah seenaknya karena tidak adanya perencanaan kerja yang jelas dan pasti. Bahkan, ada juga urgency yang digunakan untuk menunjukan power, sehingga dia menjadi kesemenaan yang diterapkan orang lain pada diri kita.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Pertama-tama membangun awareness bahwa urgency bukan kondisi default, dia merupakan sebuah indikator ada yang perlu diperbaiki dalam sistem, relasi dan kebiasaan diri. MPD-er perlu mengembangkan kemampuan dalam mengelola hal-hal tersebut sehingga dia bisa bekerja dalam sebuah pacing (kecepatan kerja) yang optimal sesuai dengan kebutuhan dari pekerjaannya, untuk didapatnya produktivitas kerja optimal.
Bila aspek-aspek tersebut telah dikelola dengan baik, maka keterdesakan hanya muncul ketika ada perubahan mendadak yang tidak diperkirakan sebelumnya (force majeur). Dengan cara itulah produktivitas kerja bisa dicapai pada level kualitatif, selain kuantitatif.
G. Suardhika
Trainer dari Training Modern Time Management Jakarta