Edisi 01, Selasa, 1 September 2015
Rutinitas berikut sudah sangat familiar bagi kita yang bekerja di kota besar: bangun ketika masih gelap, berdesakan di jalanan, bergegas menuju mesin kehadiran, sambil berharap masih dapat tinta biru dan, akhirnya pulang ketika hari telah gelap, untuk sekedar menemui anak yang sudah terlelap. Rutinitas tersebut dilalui oleh jutaan orang di kota-kota besar di dunia.
Hal berikut saya kira juga sudah sangat familiar bagi kita: lari dari satu rapat ke rapat lain. Lembur untuk mengerjakan laporan yang ditunggu bos esok hari. Marah-marah di depan tim karena target yang tidak tercapai. Kelelahan pada sore hari sehingga di jam-jam terakhir, aktivitas kita cenderung tidak jelas, membuka tutup komputer, mencari kesempatan untuk melakukan chating dengan sesama rekan kita yang merasakan hal yang sama. Kerja keras sudah jadi bagian gaya hidup manusia modern. Gaya hidup kerja keras ini tentunya diperlukan untuk mendukung gaya hidup yang lain, gaya hidup konsumtif, mulai dari makin seringnya makan di luar rumah, menelepon untuk delivery makanan yang umumnya junk food, membeli berbagai merk pakaian, sepatu, mengganti kendaraan yang lebih modern dan wah, dan masih banyak lagi.
Modernitas di satu sisi memang berarti kemudahan. Kemudahan untuk menikmati beragam makanan, kemudahan untuk memilih beragam kendaraan, kemudahan untuk membeli beragam baju, serta berbagai kemudahan lainnya. Namun apakah memang itu tujuan modernisasi, mendapatkan kemudahan tetapi dengan kesusahpayahan yang luar biasa. Apakah ini sebuah pola hidup produktif? Bekerja keras, mengorbankan diri, untuk mengejar keinginan (bukan kebutuhan) yang terus meningkat, dan pada akhirnya kelelahan, kekecewaan dan, bisa jadi, kehampaan.
Bila kita tidak mengambil jarak dari berbagai gejala di atas, bisa jadi kita merasa bahwa begitulah kehidupan modern. Sudah sepantasnya seorang bekerja keras untuk menjadi kaya. Sudah sepantasnya seseorang untuk tidak menyukai pekerjaannya dan memaksa diri bekerja. Sudah sepantasnya perusahaan menekan karyawannya untuk mendapatkan hasil yang optimal. Dan, lebih jauh lagi, produktivitas hanya bisa dicapai dengan cara itu.
Produktivitas diri (kata ‘diri’ ditambahkan untuk membedakannya dengan produktivitas organisasi) memang sebuah konsep yang mempunyai definisi yang luas. Pada umumnya, ketika orang mendengarkan kata produktivitas, ia akan mendefinisikannya sebagai output dibagi dengan input.
Ini bisa berarti hasil kerja dibagi dengan enerji atau waktu atau kompensasi (dari kaca mata organisasi). Tetapi segera kita akan mempunyai masalah dengan definisi tersebut. Terutama terkait dengan bagaimana kita menilai sebuah hasil kerja. Hasil kerja operator pabrik jelas berbeda dengan hasil kerja CEO di pabrik yang sama. Hasil kerja untuk kepentingan oraganisasi bisa berarti berbeda dengan hasil kerja untuk kepentingan individu. Lalu bagaimana kita membandingkan antara hasil kerja yang tinggi yang dicapai dengan pengorbanan fisik (maksudnya mendapatkan sakit serius akibat overwork), dibanding hasil kerja yang sedikit lebih rendah tetapi dicapai dengan tetap menjaga keseimbangan hidup?
Bila Anda tertarik untuk mengikuti blog ini dan mulai memikirkan mengenai produktivitas diri Anda, ini sudah menunjukan awal yang baik. Kebanyakan orang menjalankan kehidupan sehari-hari tanpa pernah berpikir apakah ia telah menjalankan sebuah kehidupan yang produktif atau tidak. Termasuk di dalam refleksi tersebut adalah, bagaimana ia mendefinisikan sebuah kehidupan yang produktif? Dan apa efek dari menjalankan kehidupan yang tidak produktif. Bisa jadi beberapa hal ini:
- Kehidupan yang melelahkan. Bayangkan orang yang mengayuh kapal dengan tangannya, padahal ada dayung disampingnya. Tanpa pemahaman produktivitas diri yang baik, orang berusaha untuk berhasil di area yang bukan minatnya dan kemampuannya. Sehingga ketika orang lain bisa dengan tenang mengayuh sampannya dengan dayung bersama tim nya, ia harus bersusah payah mengayuhnya dengan tangannya dan berlawanan dengan arus air lagi.
- Kehidupan yang gagal. Dari kaca mata obyektif keberhasilan karir seseorang di dalam organisasi ataupun dalam karirnya ditentukan dari seberapa baik kinerjanya. Produktivitas diri yang baik akan menghasilkan kinerja yang baik.
- Kehidupan yang mengecewakan. Banyak kasus kita temukan dimana orang bekerja keras mencapai apa yang menurutnya penting di masa muda, yang kemudian ia pahami ternyata ada yang jauh lebih penting yang telah lepas dari prioritasnya. Menjalankan kehidupan yang produktif, salah satunya berarti memahami dengan persis apa yang menjadi prioritas hidup seseorang.
Oke-lah kita bisa sepakat akan pentingnya produktivitas diri. Tetapi sebelum kita membahasnya lebih jauh dari satu tulisan ke tulisan lain di blog ini, apa sebetulnya definisinya?
Dari berbagai definisi yang ada, baiklah kita mulai dengan definisi sederhana berikut ini:
Pengoptimalkan potensi diri dan waktu kita (optimasi) untuk mencapai kehidupan yang kita inginkan (purpose) dengan cara yang kita inginkan (work style).
Dengan kata lain, mencapai purpose hidup kita dengan optimasi aset diri tanpa mengorbankan work style. Kita akan punya banyak waktu untuk mendiskusikan hal ini dalam tulisan yang akan datang yang Insya Allah akan muncul setiap selasa dan jum’at ini.
Sementara ini, izinkanlah kami memberikan ucapan selamat datang kepada para pembaca blog ini. Blog ini akan berisi tulisan terkait produktivitas diri, sebuah pendekatan baru dan komprehensive terhadap Time Management. Dengan misi meningkatkan produktivitas diri kita, organisasi dan pada akhirnya bangsa yang kita cintai ini. Amin.
G. Suardhika
Trainer dari Training Modern Time Management Jakarta