Edisi 07, Selasa 22 September 2015
Bagaimana cara kita mengukur produktivitas pada karyawan pabrik? Mudah saja, tinggal dilihat output yang dihasilkan dibagi waktu kerja atau biaya. Kalau terhadap tugas manajer? Mulai lebih sulit, kita perlu menentukan tujuan yang ingin dicapai dari posisi itu dan melihat seberapa besar ia telah mencapainya, dibanding biaya. Tentunya peningkatan kompleksitas terjadi karena sebagian hal yang menjadi target manajer bisa jadi tidak terukur. Dan terlalu fokus pada yang terukur bisa menghilangkan hal yang esensial yang kebetulan belum bisa terukur.
Baiklah kita lanjut lagi. Kalau dalam konteks wirausaha, bagaimana mengukur produktivitas seorang pengusaha? Kita perlu menentukan output yang dicapai dari bisnis tersebut, bisa terkait dengan uang ataupun kesenangan dalam menjalankannya, dibandingkan waktu dan enerji dan investasi yang sang pengusaha perlu lakukan. Disamping itu, kita perlu melihatnya tidak dalam jangka pendek tetapi dalam framework waktu yang wajar untuk menilai sebuah bisnis.
Dalam konteks ini, menarik untuk membaca karya Tim Ferris, Four Hour Workweek, karena disana dia berupaya habis-habisan untuk memangkas input sang pengusaha seminimal mungkin untuk meningkatkan produktivitas diri pengusaha tersebut.
Nah, kompleksitas dalam mengukur produktivitas diri, baru mencapai puncaknya bila kita menggunakan time frame kehidupan orang tersebut. Apakah kita melihatnya dari pandangan orang lain untuk menilai kesuksesan seseorang? Atau kita melihatnya dari seberapa ia berhasil menjalani kehidupan yang bisa ia nikmati? Tapi bagaimana kalau dia bisa menikmati kehidupan saat ini dan tidak di masa depan? Ataukah dari kontribusi sosial orang itu? Atau kriteria ini: seberapa berhasilnya dia menemukan Pencipta-nya sehingga bisa menjalani kehidupannya dengan tenang?
Karena kompleksitas di atas, maka definisi yang kita diskusikan selama ini baru sebuah definisi produktivitas yang sederhana, yang karena itu bersifat subyektif: pencapaian tujuan hidup dengan optimal dengan gaya kerja yang diinginkan.
Artinya kalau kesediaan untuk berkorban habis-habisan demi sukses luar biasa, adalah pilihan sadar seseorang maka ia mempunyai otoritas untuk mengatakan saya sudah produktif. Demikian juga, kalau sebuah kehidupan yang menyenangkan yang menjadi tujuan.
Yang penting tentunya masing-masing kita kemudian menentukan apa itu produktif bagi dirinya. Bagi blog ini, baiknya dapat terpenuhi 2 indikator dasar berikut ini: menikmati proses (dimensi masa kini) dan kepuasan terhadap output (dimensi masa depan). Seseorang yang menjalani hidupnya dengan produktif, di masa tuanya tidak akan mempunyai penyesalan terhadap kehidupan yang ia jalankan.
Kenapa? Karena ia telah menjalani kehidupan yang dia pilih dari hasil pemikirannya yang mendalam (purpose). Dia telah berusaha dengan optimal mencapainya (optimum). Dan ia mencapainya dengan gaya kerja yang ia inginkan (workstyle). Pertanyaan-pertanyaan terkait the POW (Purpose, Optimum dan Workstyle) faktor ini, kita akan bahas pada tulisan lain di blog ini.
Enjoy your productive days….
G. Suardhika
Trainer dari Training Modern Time Management Jakarta