Edisi 80, Jumat, 3 Juni 2016
‘Interupsi adalah sebuah arogansi’. Nanti dulu, jangan marah sama saya dulu. Ungkapan itu bukan saya yang menyampaikan, tetapi Jason Fried di depan Chicagoland Chamber of Commerce (https://www.youtube.com/watch?v=9BoFeIYweno). Pertama kali mendengarnya, saya juga cukup kaget. Tetapi beberapa kali mendengar sharing dari Jason di youtube dan kemudian juga membaca bukunya, Rework, saya bisa memahami cara berpikirnya.
Jason adalah co founder dari 37 signals, dimana salah satu produknya adalah Basecamp, sebuah tool produktivitas kelompok/organisasi berbasiskan web .
Jelas yang ia maksudkan adalah interupsi yang dilakukan tanpa concern terhadap prioritas orang lain, interupsi itu memaksakan prioritas kita pada orang tersebut. Interupsi tersebut, jelas menunjukan arogansi. ‘Bukankah, setiap Bos akan selalu begitu?’, mungkin itu yang ada di pikiran Anda. Dalam konteks ini, saya meyakini ada 2 tipe atasan. Pertama, Atasan yang merasa bahwa staf nya sekedar executor yang bertugas membantu pekerjaan dia. Kedua, Atasan yang memperlakukan bawahannya sebagai seorang Profesional, dengan job desc, otoritas, tanggung jawab dan targetnya sendiri, selain bertugas membantu Atasan.
Tipe pertama akan cenderung self center dan cenderung menjadi arogan, yang kedua akan lebih berupaya untuk mencapai equal relationship dan respek terhadap target dan prioritas bawahannya.
Interupsi adalah salah satu penghambat utama dari produktivitas di tempat kerja. Mengurangi interupsi, salah satunya memang memerlukan kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap prioritas kerja orang lain. Arogansi akan menimbulkan kecenderungan untuk mendorong agenda dia dan melihat dirinya yang paling penting di dunia ini, paling tidak di dunia kerja tersebut.
Atasan seperti ini bukan hanya memperlakukan bawahan sebagai ‘ajudan’-nya, tetapi juga kolega yang ia rasa lemah akan ia perlakukan dengan sikap yang sama. Ia akan marah bila ada yang tidak datang ke rapat dia, walaupun rapat tersebut tidak terlalu terkait dengan pekerjaan koleganya.
Dalam kondisi demikian ia tidak hanya menjadi penghambat bagi stafnya, dengan mengacaukan prioritas stafnya dengan interupsi dan rapat berkepanjangan, tetapi bisa jadi juga koleganya dengan permintaan-permintaan yang tidak penting. Dan pada akhirnya, produktivitas organisasi pun terkorbankan.
G. Suardhika
Trainer dari Training Modern Time Management Jakarta