Edisi 280, 23 Juli 2019
Salah satu permasalahan dari interupsi adalah waktu dan tempat datangnya yang tidak menentu. Karenanya pertanyaan pertama sebetulnya, seberapa jauh pola koordinasi dan komunikasi telah dibentuk sehingga interupsi bisa diminimalkan. Perbaikan pola koordinasi dan komunikasi, akan mengubah interupsi menjadi input.
Input adalah informasi atau permintaan yang datang pada waktu, tempat dan saluran yang disediakan. Dengan mengoptimalkan saluran input yang terutama berupa rapat rutin, email, pesan text ataupun format komunikasi lain yang pengaturan dibacanya mengikuti prioritas penerima, maka ia tidak lagi muncul sebagai interupsi. Rapat yang bersifat mendadak, tentu tidak termasuk dalam jenis ini. Telepon juga tidak, karena ia akan memotong prioritas kerja seseorang, kecuali bila memang tugasnya adalah mengangkat telepon (operator, misalnya) atau telepon itu datang dalam ‘jam praktek’.
Format dan waktu rapat rutin akan ikut menentukan seberapa efektifnya ia dapat menampung berbagai kebutuhan pemecahan masalah. Rapat dengan frekuensi yang memadai dan berlangsung dengan efisien dan efektif akan membuat permasalahan yang dirasakan tidak perlu disampaikan dalam bentuk interupsi.
Namun, kadang saluran komunikasi yang sebetulnya tidak perlu mengganggu prioritas kerja tersebut, bisa berubah menganggu prioritas kerja. Seperti cerita yang saya dengar dari peserta pelatihan yang berasal dari sebuah bank swasta top. Di bank tersebut, setiap orang diminta untuk me-respond dengan cepat email yang ada. Kecepatan respond ini masuk ke dalam KPI mereka walaupun pekerjaan mereka tidak terkait dengan customer service. Menerapkan respond time email sebagai KPI bisa berbahaya karena akan dapat menginterupsi pekerjaan setiap orang. Pada saat itu setiap orang bisa memaksakan agendanya, karena penerapan KPI tersebut.
Agar email dapat efektif, maka kita juga perlu mempunyai frekuensi respond yang memadai sehingga orang bisa tahu apa yang bisa diharapkan bila mengirim email ke kita. Misalnya, bila kita konsisten mempunyai respond time email satu hari, maka orang tidak akan menggunakan saluran itu bila berharap tanggapan yang lebih cepat dari satu hari. Tetapi bila kita tidak cukup yakin akan konsistensi respond email kita, maka orang tersebut akan menindaklanjuti email yang dikirim dengan menelepon untuk memastikan bahwa kita menaruh perhatian terhadap email tersebut. Jadilah ia berubah menjadi interupsi. Disinilah, sekali lagi, pentingnya membangun pola komunikasi dan koordinasi yang pas.
Faktor lain yang bisa membuat interupsi berubah menjadi input adalah memberikan ‘jadwal praktek’. Ibarat dokter yang mempunyai waktu praktek jam 2 sd 5, misalnya, menunjukan bahwa ia siap ‘diganggu’ pada jam tersebut. Demikian juga, bila kepada tim, kita sampaikan kalau kita menerima ‘tamu’ hanya pada sore hari jam 4, maka kebijakan tersebut bisa mengurangi interupsi. Pada sore hari, kita bisa menggunakan waktu kita untuk pekerjaan administratif, sehingga interupsi tidak akan terlalu mengganggu aktivitas kita.
Demikian beberapa cara untuk mengubah interupsi menjadi input. Dengan cara ini, kita bisa mengurangi frekuensi interupsi dan meletakannya menjadi input pada tempat dan waktu yang pas.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply