Multitasking atau Focusing?

Multitasking atau Focusing?

Edisi 272, 4 Juni 2019

Sejak remaja saya kagum dengan teman kelas, teman di kepanduan, yang terampil mengerjakan beberapa tugas dalam waktu bersamaan. Hanya beberapa teman yang sanggup bermain, belajar ataupun melakukan tugas sekaligus bersamaan.

Ketika disekolahkan untuk menjadi guru bahasa Inggris di LIA (bukan tujuan saya menjadi guru, namun karena ada permintaan dari LIA ketika itu di tahun 1990an, sedang meledak kursus bahasa Inggris terutama kebutuhan akan guru Business English, maka saya mendapat desakan untuk ikut serta); entah mengapa, seorang mahasiswa teknik mesin yang masih berumur 21 tahun, selalu mencari saya dan ingin duduk disebelah saya (ketika itu sudah berumur 41 tahun) mengikuti kuliah di Gedung Pusat Pendidikan Bahasa dari Lembaga Indonesia Amerika (LIA) di Jl. Pramuka, Jakarta Timur.

Mahasiswa ini ternyata lulusan kursus LIA di  Jl. MT Haryono, Jakarta Pusat, dan ketika lulus Advance 4 (tingkat akhir) dia meraih ”outstanding student” dan mendapat tawaran untuk melanjutkan studi ke jenjang Teachers’ Training Course, secara gratis, atau dapat bea siswa; melanjutkan bersama satu batch dengan saya yang diadakan di gedung pusat LIA di Jl. Pramuka, setiap malam, meliputi 6 mata kuliah dipresentasikan oleh guru-guru senior yang disebut Supervisors.

Ketika ditanya, kenapa senang duduk di sebelah saya, mahasiswa tersebut menjawab: ”Saya suka bapak focus dalam mengikuti presentasi para pengajar.” Ternyata dia ”memanfaatkan saya” karena setiap hadir di ruang kuliah LIA, duduk disamping saya, mahasiswa muda ini membuka catatan dari kuliahnya pagi/siang hari atau  dari hari sebelumnya dan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya di teknik mesin, mengerjakan berbagai hitungan matematika dan ilmu gaya atau ilmu pasti lainnya.

Karena, pengajaran di LIA  bersifat interaktif, sering semua pengikut kursus Teahers’ Training yang dibatasi 12 atau15 orang maksimumnya, setiap kali mendapat giliran menjawab petanyaan pengajar, bahkan harus maju untuk diskusi atau melanjutkan bagian materi yang dipresentasikan; ataupun mempraktekan dialog dengan kawan sekuliah atas bahasan materi yang sedang dipresentasikan. Hebat sekali, mahasiswa teknik yang selalu duduk  di sebelah saya; seluruh kuliah di LIA dapat dikatakan tidak diikutinya dengan memandang presentasi, hanya sekali-sekali melirik kedepan kelas ataupun membaca cepat buku/materi kuliah sore itu, lebih banyak waktunya untuk mengerjakan tugas kuliah ilmu matematika dan ilmu pasti lainnya dari fakultas teknik yang sedang diselesaikan dalam semester terakhir, ketika itu.

Hebatnya, bila mahasiswa muda  ini diharuskan menjawab, meresponse permintaan pengajar, dia akan mengatakan: “Sebentar ibu atau bapak.”  Cepat kemudian dia bertanya dengan berbisik pada saya: “Pak ini…yang dimaksud?” Selalu benar apa yang ingin dijawabnya. Saya pun membenarkannya, atau sekedar memberi sedikit perbaikkan, kemudian  dia bangkit dari duduknya karena memang diminta oleh pengajar untuk memperagakan ”verbal communication in teaching”.

Jadi, mahasiswa muda disamping saya itu cukup mendengarkan kuliah/presentasi di LIA, sambil otak dan tangannya tetap mengerjakan ilmu matematika dan ilmu teknik lainnya dengan jarinya menulis jawaban tugas di meja dengan buku dari kuliah pagi, di samping materi Teachers’ Training disebelah atau bahkan dibawah buku matematikanya.

Mahasiswa muda ini saya anggap pandai “multitasking”; sebaliknya dia katakan bahwa saya bisa “focusing”.  (Kami dinyatakan lulus bersama; 2 calon guru gugur mengikuti ujian akhir, 1 orang dinyatakan harus mengulang – tidak lulus). Itu suatu contoh multitasking, sedang saya memang merasakan bahwa untuk menyelesaikan pekerjaan jenis apapun harus selalu fokus, mencurahkan perhatian  atas  pekerjaan yang ingin saya selesaikan.

Multitasking atau focusing secara ilmiah praktis dibahas dalam buku “The Missing 40 Percent” sebagai materi pembelajaran Manajemen Produktivitas Diri (MPD); bukan maksud artikel saya ini bahwa dengan mengikuti buku MPD ataupun ikut workshop/training MPD akan bisa ”menjadi” sosok seperti contoh ilustrasi dari pengalaman hidup saya, menjadi seperti mahasiswa teknik mesin yang lulus menjadi guru bahasa Inggris LIA.

Pembahasan lebih lanjut mengenai ini terdapat di  halaman 223 – 224, yang saya kutip ringkasannya sebagai berikut:

Bayangkan tentang seorang yang produktif biasanya terkait dengan kemampuan mengelola beban kerja yang tinggi, bekerja dengan cepat, multitasking ataupun switching tugas dengan cepat dan sering bekerja dengan daftar tugas yang banyak. Itulah ciri eksekutif yang berhasil, disayang Boss, disayang pemegang saham dan berhasil  dalam karirnya. Bila saudara penggemar metode Get Things Done dari David Allen, saudara tentu paham bahwa Allen cenderung melihat produktivitas dalam konotasi tersebut, yaitu tipe High Paced Productivity.

Seorang High Paced Productivity adalah seorang yang tetap mampu untuk focus, balanced, seimbang walau dalam tuntutan pekerjaan yang sangat tinggi (Jadi, contoh pengalaman saya kuliah dalam satu kelas bersama mahasiswa muda; tidak benar bahwa seorang yang bisa multitasking tidak fokus; bahkan keistimewaan bisa multitasking karena dapat fokus tidak hanya pada satu masalah/tugas).

Selanjutnya buku ”The Missing 40 Percent” membahas bahwa high paced productivity itu baru merupakan satu ujung dari kontinum pacing productivity. Tingkat pacing mengacu pada tingkat beban dan kecepatan kerja. Dalam produktivitas diri, kerja ideal pacing kita menentukan sesuai kebutuhan kerja dan kebutuhan diri sendiri. Selanjutnya ikuti hingga tuntas buku ”The Missing 40 Percent”.

(Ludwig Suparmo – Lead Trainer: Crisis Management & Compliance Management)

Leave a Reply

avatar
  Subscribe  
Notify of
Close Menu
×

Hello!

Click one of our representatives below to chat on WhatsApp or send us an email to cs@produktivitasdiri.co.id

× Butuh info?