Edisi 246, 18 Desember 2018
Organisasi di abad 21 tampil seperti anak yang sudah dilupakan alasan keberadaannya. Budaya modern yang menginginkan hasil (ekonomi) serba instant menyebabkan berprosesnya organisasi dinilai sebagai hambatan.
Dalam berbagai kesempatan membawakan pelatihan, saya berdiskusi dengan peserta pelatihan yang bekerja dari bank ternama mengenai bagaimana satu divisi di bank tersebut diisi oleh sebuah tim yang bedol desa dari bank lain, hanya supaya divisi itu bisa cepat berkembang dan merebut pasar yang ada.
Bayangkan apa yang terjadi dengan karyawan lama di divisi tersebut yang tiba-tiba diminta untuk hanya berada di kursi klas 2 menjadi supporting dari produk dan proses baru yang ditanamkan. Bayangkan apa yang terjadi dengan sistem yang sudah lama dikembangkan di sana, yang tiba-tiba tidak dipakai lagi. Belum ketika kita bicara koordinasi antar divisi/departemen dan mismatch dalam budaya.
Lalu bagaimana kalau upaya ini tidak mendatangkan hasil. Maka anda bisa memperkirakan akan terjadi bedol desa yang lain, dimana kelompok ini pindah ke perusahaan lain, bila mereka masih laku di pasaran dan manajemen bank tersebut akan mencoba mencangkok-kan tim yang baru.
Ini adalah sekedar salah satu contoh ekstrim dari ketidakperdulian akan berprosesnya organisasi. Sudah sering saya dengar cerita mengenai berbagai implementasi sistem yang tidak integratif dan hanya dilakukan karena sang direktur lagi senang ‘belanja’ konsultan.
Ketidakjelasan value dan budaya yang dibangun, bertabrakannya satu sistem dengan sistem lainnya, direksi yang pintar dan ambisius tapi tidak menghargai nilai dan budaya perusahaan yang ada, sudah menjadi hal yang biasa terdengar dan terjadi saat ini. Inilah pendekatan yang populer saat ini: manajemen dan organisasi ada hanya untuk mengikuti ego nya direksi atau pemilik.
Tekanan itu begitu kuat dirasakan organisasi, sehingga kebanyakan organisasi tidak sempat bertumbuh menjadi kuat. Ia hanya menjadi tambalan bahan yang membentuk sebuah pakaian yang gampang sobek dan tidak jelas bentuknya, tetapi tetap dipakai oleh sang model dengan harapan tetap ada yang mau beli.
Dalam berbagai tulisan di seri ini, Anda akan menemukan bahwa tekanan tersebut terasa pada semua sendi organisasi. Pada semua pola koordinasi yang ada. Pada semua hubungan antara manajemen dan karyawan, antara atasan dan bawahan. Konflik yang ada biasa dirumuskan sebagai orientasi target vs orientasi proses.
Tekanan ini yang menyebabkan sulit bagi MPD untuk tumbuh subur di dalam organisasi modern. Padahal berbagai penelitian modern yang ada, menunjukan korelasi yang kuat antara kebahagiaan dengan keterlibatan kerja dan kinerja. Bukan orang perlu sukses untuk bahagia. Tetapi orang perlu bahagia untuk bisa menjadi sukses dan mempunyai kinerja yang baik. Pola pikir yang sama, juga diterapkan di dalam MPD.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply