Edisi 195, 30 Januari 2018
Produktivitas harusnya berjalan seperti sebuah aliran. Lancar dan konsisten. Salah satu kesalahan kita adalah melihat produktivitas sebagai sebuah event. Berorientasi event berarti kita mencoba mengukur sebarapa banyak waktu telah kita pakai pada hal penting dan kurang penting (time waster), tetapi kita tidak melihat kenapa bisa begitu. Ini ibarat kita mencek kondisi keruhnya air di hilir tetapi kita hanya membersihkan hilir tidak membersihkan hulunya, sumber airnya.
Ketika produktivitas kita sehari-hari tidak berjalan dengan lancar, maka kita perlu melihatnya sebagai kurangnya tarikan untuk mengalirnya air (faktor penarik) dan dorongan untuk mengalirnya air (faktor pendorong). Faktor penarik berupa purpose kita: apa yang ingin kita capai dalam hidup kita. Faktor pendorong adalah motivasi intrinsik: apakah kita sudah menikmati apa yang kita kerjakan.
Kita juga bisa memahami terjadinya kelambatan aliran produktivitas dari banyaknya sumbatan yang menyebabkan tidak mengalirnya air dengan baik. Kita perlu memahami proses dari mulai munculnya keinginan/kebutuhan sampai kepada perwujudannya sehari-hari. Dimana hambatannya? Apakah karena banyaknya keinginan? Demad terlalu banyak? Prioritas yang tidak jelas? Aktivitas yang tidak align dengan purpose? Dan seterusnya.
Flow of productivity yang berjalan dengan lancar akan mengakibatkan kita:
- Mempunyai kejelasan arah yang ingin dicapai
- Fokus
- Efisien dalam eksekusi
- Engaging: menikmati proses yang ada
Pernah melihat orang yang bekerja dengan sangat senang, exited dan menikmati pekerjaannya? Kalau ini agak sulit ditemukan di sekitar kita, bagaimana kalau yang ini: pernah melihat anak bermain dengan sangat senang, exited dan menikmati permainannya? Bila pada yang terakhir telah terjadi flow of activity dengan baik, mengapa yang pertama tidak?
‘Ya…terang aja kan yang kedua itu bermain?’ ini bisa jadi jawaban yang muncul di benak sebagian pembaca. Disitulah tantangannya, apakah tidak mungkin menjalankan pekerjaan dengan menyenangkan seperti layaknya bermain?
Harus diakui bahwa ada satu perbedaan utama, yaitu dalam bekerja kita harus memaksakan diri untuk melakukan sesuatu hal yang tidak kita inginkan demi tercapainya suatu target tertentu. Kata kuncinya sebetulnya ada di frekuensi, seberapa mampu kita mengelola pekerjaan kita sehingga frekuensi terjadinya hal tersebut tidak terlalu besar? Seberapa berhasil kita mendisain pekerjaan kita untuk mencapai hal tersebut?
Ketika kita mempunyai power yang memadai maka kita dapat bekerja layaknya bermain, mengandalkan motivasi intrinsik dan pacing aktivitas yang pas. Sementara pada kasus yang pertama, si pelaku (sang pekerja) bergerak karena motivasi ekstrinsik (umumnya gaji) dan pacing yang tidak bisa dinikmati (dead line ketat dan overload).
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply