Edisi 51, Selasa, 23 Pebruari 2016
Ketidakjelasan dalam mendefinisikan kerja, seringkali menjadi sumber hambatan dalam peningkatan produktivitas kerja. Apa itu kerja? Seorang musisi akan melihat bermusik itu sebagai kerja dan fotografi sebagai hobinya. Seorang fotografer bisa jadi sebaliknya, melihat memotret itu pekerjaan dan bermain musik adalah hobinya. Apakah karena sesuatu profesi dan aktivitas menjadi sumber pendapatan kita lalu ia berubah menjadi kerja? Atau, lebih buruk lagi, ia berubah menjadi keharusan yang tidak menyenangkan sehingga mengatakan itu kerja?
Memang ada musisi yang karena menjalani musik sebagai profesinya, mengorbankan idealisme dan ekspresi dirinya, akhirnya kehilangan hobinya, supaya bisa mendapatkan pekerjaan. Hal yang sama bisa jadi dialami oleh olahragawan profesional. Harus berlatih habis-habisan. Melawan rasa malasnya, untuk mendapatkan tingkat prestasi yang memungkinkan kompensasi yang memadai. Ia bisa jatuh pada kesimpulan yang sama.
Kesimpulan di atas sebenarnya berasal dari suatu logika salah berikut ini: kita hanya pantas dibayar tinggi kalau kita memaksakan diri melakukan sesuatu yang diminta orang lain. Semakin kita tidak menyukai pekerjaan kita, semakin kita merasa bisa meminta bayaran tinggi.
Permasalahan dalam logika di atas adalah ini: untuk mendapatkan kinerja optimal, baik di organisasi ataupun mereka yang berprofesi dalam bidang olah raga dan musik, seorang perlu menyukai aktivitas tersebut sehingga bisa mendapatkan enerji terus menerus dari hari ke hari untuk mengatasi hambatan dan kejenuhan yang ada. Dan rumus yang wajar dari sebuah kompensasi yang baik, sebetulnya hanya satu: kinerja. Bukan pengorbanan.
Dengan demikian si pengorban perasaan di tempat kerja di atas, bisa jadi sebetulnya diinginkan oleh Bos nya untuk keluar. Tetapi dia ndablek, sementara si Boz/Manajemen kesulitan melakukan itu sehingga interaksi yang terjadi adalah lose-lose. Sehingga produktivitas organisasi tidak akan mencapai titik optimal.
Jadi apa itu kerja? Mungkin ada baiknya kita memberikan definisi baru yang lebih sehat dari kerja, yaitu melakukan aktivitas yang ada di sweet spot kita dengan optimal, sehingga dalam jangka pendek dan panjang bisa menjadi sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan kita.
Sweet spot? Interaksi antara minat, kemampuan, purpose dan kesempatan untuk mendapatkan kompensasi yang baik ketika kita memberikan kontribusi pada masyarakat/customer kita. Silakan hilangkan aspek terakhir dari 4 aspek tersebut, Anda akan menemukan hobi yang bisa dilakukan kapan saja sesuai keinginan Anda. Dengan demikian, sweet spot terjadi ketika hobi bertemu dengan transaksi ekonomi yang fair.
Fair? Fair adalah aspek etika dari format ini. Ada profesi yang bisa menghasilkan income yang besar tetapi bersifat manipulated. Pada saat itu kita bisa jadi sukses bekerja, tetapi kita melakukannya dengan tidak memenuhi unsur etika yang juga penting dalam produktivitas diri.
Tidak ada satupun pekerjaan yang hanya berisi hal yang menyenangkan. Disanalah disiplin menjadi penanda seberapa besar kecintaan kita pada pekerjaan yang kita pilih. Ketika ktia bisa melakukan hal yang kita cintai dengan disiplin, prestasi dan kompensasi akan mengikuti. Sebab organisasi telah dapat meningkatkan manfaat dari produktivitas kerja Anda.
Bagaimana kalau kita memulai pekerjaan kita minggu ini dengan mengembangkan sikap kerja yang tepat. Dan kalau Anda belum ada di sweet spot Anda, maka percayalah mencari dan menemukannya akan membuat Anda lebih produktif dalam kerja Anda.
G. Suardhika
Trainer dari Training Modern Time Management Jakarta