Edisi 171, Selasa 12 September 2017
Bayangkan situasi berikut. Anda sedang duduk santai, ngopi di sebuah sore yang cerah, lalu datang menemani Anda, future self Anda, diri Anda 10 atau 20 tahun lagi. Bila Anda bisa berinteraksi dengannya, apa yang ingin Anda tanyakan? Bila Anda mendapatkan input darinya tentang apa yang sebaiknya Anda lakukan saat ini untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, apakah Anda akan melakukannya?
Pertanyaan ini terkesan main-main, tetapi tidak kurang dari seorang Psikolog peneliti Hal Ersner-Hershfield yang begitu serius mengolah ide ini sehingga ia membuat Avatar dari respondennya, yang menggambarkan sosok respondennya ketika sudah tua. Hershfield ingin memberikan pengalaman se real mungkin dalam dialog antara diri mereka saat ini dengan masa depan (Kelly McGonigal dalam bukunya Grit, hal 176). Resensi mengenai buku ini ada di https://produktivitasdiri.co.id/grit-the-power-of-passion-and-perseverance-by-angela-duckworth-2016/.
Menurut Anda, ketika kita membayangkan future self kita, bagian otak sebelah mana dari seseorang yang aktif? Apakah areanya sama dengan ketika ia sedang melakukan refleksi diri? Surprise-surprise…. jawabannya ternyata tidak sama. Bagian otak kita yang aktif justru bagian otak yang sama dengan ketika kita membayangkan orang lain.
‘Mengobrol’ dengan senior kita dalam bentuk avatar, ternyata bisa membuat kita lebih bertanggung jawab mengenai pilihan apa yang kita lakukan pada saat ini. Kita bisa membayangkan bertapa renta-nya kita. Kita membayangkan bertapa tidak berdayanya dan tidak banyak pilihan yang masih tersedia untuk diri kita. Baik terkait karir, pendapatan, fisik kita, dan seterusnya.
Ketika seseorang bisa membayangkan future self nya dengan lebih real maka ia akan lebih menjaga kondisi fisik dan finansial sehingga future self tersebut dapat menjalani harinya dengan lebih baik. Walaupun demikian, hasil dari penelitian umumnya menunjukan bahwa umumnya kita memberikan beban 2 kali lebih berat pada future self kita daripada pada diri kita saat ini. Kita meminta future self kita menabung lebih banyak daripada yang kita bersedia lakukan saat ini. Kita meminta ia berolah raga lebih rajin dan lebih menjalankan pola hidup sehat. Padahal kita tahu persis bisa jadi sudah terlambat bila kita menunda pola hidup sehat kita ke masa tua. Lalu, apa kaitannya semua ini dengan MPD?
Sederhana saja. Bila kita berhasil memberikan cinta yang sama pada diri kita di masa tua, dengan dengan diri kita pada saat ini, maka kita sudah berhasil melakukan MPD dengan baik.
Pertanyaan yang sudah sering kita dengar dan kita coba jawab adalah ini: apa cita-cita Anda (sering ditanyakan ketika kita kecil) atau apa mimpi Anda (sering ditanyakan dalam training motivasi). Tetapi kedua pertanyaan ini hanya memberikan gambaran masa depan yang ideal seolah pencapaian hal tersebut tidak ada hubungan dengan apa yang kita lakukan saat ini. Keseimbangan yang selalu ditekankan MPD adalah masa depan dan masa kini. Menjalankan hari dengan menyenangkan di siang hari dan merasa puas di malam hari ketika kita mengevaluasi apa yang kita lakukan di siang hari tersebut.
Bagaimana kalau ketika kita melakukan sesuatu saat ini, kita sudah mencoba mengintegrasikan kepentingan kita masa depan dan saat ini. Ketika saya beristirahat saya ingin badan tetap sehat sehingga di masa depan kita tidak sakit-sakitan. Demikian juga ketika saya mengelola stres, atau ketika saya mendisiplinkan diri saya untuk melakukan hal yang penting yang saya lakukan saat ini, maka itu saya lakukan sehingga di malam hari saya tidak merasa menyesal karena sudah membuang waktu hari ini dengan percuma.
Integrasi antara diri kita saat ini dengan diri kitadi malam hari akan membuat kita selalu mencoba menyeimbangkan antara apa yang kita ingin lakukan dengan apa yang sebaiknya kita lakukan. Kesulitan kita dalam mencapai hal tersebut terutama karena satu hal ini. Yang sangat jelas. Yaitu ganjaran lebih real terasa di saat ini daripada di masa depan. Karena itu kita perlu memahami dan menginternalisasikan ganjaran yang ada di masa depan, se real mungkin. Dan kita perlu terus mendidik dan membiasakan diri kita untuk bertindak dengan bayangan ganjaran masa depan tersebut.
Para neurolog menemukan pertarungan masa depan dan masa kini tersebut berlangsung di bagian otak kita yang bernama prefrontal cortex. Pertarungan terjadi sistem limbic, yang menginginkan kenikmatan saat ini dan bagian dari diri kita yang menginginkan kehidupan masa depan yang lebih baik. Keberhasilan mengintegrasikan kepentingan masa depan dan saat ini dari moment ke moment akan mengurangi rasa penyesalan kita di malam hari, ketika kita mengevaluasi berjalannya hari. Juga, terutama penyesalan di masa tua, ketika kita mengenang kembali masa muda kita.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply