Edisi 264, 9 April 2019
Pada suatu hari, Anda ikut bergabung dengan sekelompok orang di tepi danau yang tenang. Begitu beningnya danau itu sehingga Anda bisa melihat ikan-ikan bergerak dengan lincahnya di dasarnya. Begitu cerahnya pagi sehingga Anda bisa melihat benda merah di seberang danau yang ditunjuk oleh instruktur. Benda merah itu yang menjadi penanda tujuan Anda.
Pelatih kemudian memberikan menjelaskan apa yang perlu Anda lakukan untuk bisa mendayung dengan baik ke arah tersebut. Setiap peserta diminta masuk ke dalam perahu, memegang kayuhnya dan mulai melatih gerakan yang diperlukan sesuai dengan aba-aba.
Kekuatan diperlukan untuk bisa meningkatkan laju perahu itu. Kemiringan kayuhan diperlukan untuk bisa membelokan perahu Anda. Setelah itu, sang coach masih menyempatkan diri berada satu sampan dengan Anda untuk menunjukan caranya dan mengkoreksi gerakan Anda sehingga dicapai optimasi yang diinginkan.
‘Mudah sekali’, Anda berkata pada diri Anda. Lima kali latihan menyeberang danau hari itu, dan Anda merasa Anda sudah dapat menguasainya. Minggu berikutnya, para peserta diminta untuk berkumpul lagi dan melakukan apa yang sudah dilatih. Sasaran Anda diletakan dengan jarak yang sama seperti sebelumnya. Cuma ada satu perbedaan ‘kecil’. Kali ini hal tersebut dilakukan bukan di danau yang tenang tetapi di ……Yap, di laut dengan arus dan gelombang yang cukup tinggi.
Tantangan segera berubah dengan cukup ekstrim. Angin yang bertiup keras membuat perahu sulit diarahkan. Tujuan? Sekarang sudah sulit dilihat karena terhalang ombak dan percikan air. Sehingga Anda perlu menggunakan kompas untuk mengarahkan perahu dengan tepat. Belum gelombang dan arus yang membelokan perahu Anda dengan tidak menentu. Dan…banyak karang di pantai yang membuat Anda perlu mengambil jalan memutar. Semua hal itu tidak pernah Anda pelajari sebelumnya.
Tiba-tiba Anda merasa frustasi dengan besarnya tantangan yang ada dibandingkan ketrampilan yang telah Anda pelajari minggu lalu. Sudah tentu Andapun tidak pernah berlatih mengatasi rasa frustasi tersebut.
Rasa frustasi yang sama saya duga juga dialami sebagian peserta pelatihan Manajemen Waktu ketika mereka mencoba mempraktekan ketrampilan yang mereka telah pelajari di tempat kerja. Pekerjaan terasa tidak pernah berhenti, bahkan makin lama makin banyak. Daftar pending item bukan berkurang tetapi bertambah setiap harinya. Seberapapun Anda berusaha untuk menemukan cara pintas, mendahulukan pekerjaan prioritas, namun lingkungan yang begitu ‘bergejolak dan dinamis’ membuat tuntutan pekerjaan Anda begitu susah dikendalikan.
Begitulah kalau kita tidak memiliki perspektif bagaimana mengelola angin, ombak dan arus ketika mendayung di pantai. Menguasai ketrampilan mendayung tentu sangat diperlukan. Tetapi kita juga memerlukan pemahaman akan medan kita sesungguhnya, sehingga kita bisa mengelolanya dengan baik dan bisa meminimalkan efeknya, menyesuaikan expectacy dan melakukan antisipasi.
Karena itulah, MPD menambah ketrampilan yang telah diberikan Manajemen Waktu dengan berbagai pemahaman terkait arah hidup, pengelolaan konteks, mengelola relasi dan interupsi, dan ketrampilan lainnya sehingga kita bisa mengelola tantangan yang ada, tidak hanya pada saat terjadinya, tetapi juga di akar penyebabnya sehingga rasa frustasi dalam menghadapi tantangan yang ada bisa diminimalisir.
G. Suardhika
Trainer dari training Modern Time Management Jakarta
Leave a Reply